Knowledge Base Help Center
Table of Contents
< All Topics
Print

Cio Ko

Penamaan

  • bahasa Mandarin : ”’zhong yuan jie”’ (中元節) (https://eresources.nlb.gov.sg/infopedia/articles/SIP_758_2004-12-16.html Zhong Yuan Jie (Hungry Ghost Festival)], ”Singapore Infopedia”. Akses: 20-01-2022., gui-jie (鬼節), ”’yu lan pen”’ (盂蘭盆). (https://www.mdpi.com/2077-1444/11/7/356/htm The Hungry Ghost Festival in Singapore: Getai (Songs on Stage) in the Lunar Seventh Month, ”MDPI”. Akses: 20-01-2022.)
  • bahasa Hokkien : tiong-goan (中元), chhit-goe̍h-pòaⁿ (七月半), cioko (chhiúⁿ-ko͘) — Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Nio Joe Lan, Kepustakaan Populer Gramedia, 2013. hal 223-226.—- dari kata chhiúⁿ-ko͘ (搶孤).
  • bahasa Hakka : chhit-ngiet-pan (七月半), chhiong-si-ku (搶死孤).
  • bahasa Inggris : hungry ghost festival.
  • bahasa Melayu / bahasa Indonesia|Indonesia :sembahyang hantu, pesta rebutan (Folklor Tionghoa. James Danandjaja, PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007. hal 382-383.), sembahyang rebut, sembahyang rampas. ([https://www.antarafoto.com/mudik/v1377138616/sembahyang-rampas Sembahyang Rampas], ”antarafoto”. Yohanes Kurnia Irawan. Akses: 20-01-2022.)

Festival Zhong Yuan atau dikenal juga dengan nama Perayaan Bulan Arwah adalah sebuah perayaan rakyat Tionghoa yang bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Perayaan ini tidak bersifat hiburan untuk orang yang masih hidup saja, namun lebih ke arah penghormatan terhadap arwah leluhur dan juga untuk menenteramkan arwah-arwah gentayangan. Arwah gentayangan yang dimaksud adalah mereka yang tidak dimakamkan dan tidak mempunyai keturunan.

Perayaan ini berlangsung selama satu bulan penuh, dengan hari puncak perayaan jatuh pada malam purnama tanggal ke-15. Pada bulan ke-7 ini banyak tabu dijalankan oleh masyarakat Tionghoa, misalnya tidak keluar malam-malam, tidak mengenakan warna pakaian yang mencolok serta meniadakan acara-acara pesta. Selain itu ada juga yang menjadikan momen ini sebagai ajang bakti sosial seperti menyumbang panti asuhan, sembako dan makanan kepada orang yang kurang mampu.

Sejarah : Perayaan Bulan Arwah mempunyai versi yang berbeda menurut agama Buddha Mahayana dan kepercayaan tradisional Tionghoa. Selama ribuan tahun perayaan ini berkembang dan berakulturasi dengan budaya dan kepercayaan Tionghoa terutama Taoisme. Ritual upacara yang dilaksanakan untuk leluhur baik menurut tradisi Buddhis atau Taois mencerminkan kepercayaan akan kehidupan setelah kematian dalam kebudayaan Tionghoa.

Versi Buddhisme perayaan ini dinamakan Ulambana (Yu Lan Pen ; 盂蘭盆) yang didasarkan dari Sutra Ullambana yang dikenal di Tiongkok. Dalam Sutra Ulambana dikisahkan salah satu murid Buddha bernama Mahamoghallana (dalam bahasa Tionghoa disebut Mu Lien atau Bok Lian). Mu Lien ingin menyelamatkan sang ibu yang berada di neraka akibat dosa-dosa yang dilakukannya semasa hidup. Segala usahanya tidak berhasil sehingga ia menemui sang Buddha. Buddha menyuruhnya mendirikan 4 buah pondok yang berisikan makanan dan minuman untuk para arwah tersebut serta membacakan doa khusus untuk sang ibu. Atas jasanya, ibu Mu Lien pun terbebas dari hukuman neraka. Kisah ini kemudian dirayakan rakyat Tionghoa sebagai bentuk bakti terhadap leluhur. Persembahan berupa makanan diberikan untuk meredakan penderitaan leluhur dari siksaan.

Menurut Taoisme, selama bulan ke-7 (penanggalan Imlek), pintu neraka dibuka dan para arwah dibebaskan ke dunia manusia. Secara tradisi, para Pendeta Tao akan melaksanakan upacara dan memberikan makanan sesaji kepada arwah-arwah tersebut, sementara itu masyarakat pergi ke kelenteng untuk memohon keselamatan dan kebaikan. Persembahan makanan sesaji dalam upacara ini dianggap sebagai pengaruh dari Ulambana.

Menurut versi cerita rakyat Tionghoa lainnya, Mu Lian pergi ke neraka dan memohon kepada [[Raja Neraka]] (Giam Lo Ong) supaya diperkenankan menggantikan hukuman ibunya. Permohonannya dikabulkan selama satu bulan. Setelah kejadian ini, Giam Lo Ong menangguhkan penyiksaan selama satu bulan kepada penghuni neraka dan mereka bebas pergi ke alam manusia. Ini jatuh selama bulan ke-7 setiap tahunnya. Ada yang menemui sanak saudara dan keluarga mereka kembali, ada pula hantu-hantu yang kelaparan ini mempunyai sifat yang buruk, penuh dendam terhadap manusia. Untuk menghibur dan menenangkan mereka manusia memberikan persembahan berupa makanan, dupa, serta miniatur rumah dari kertas dibakar di lingkungan perumahan atau pinggir jalan setiap malam.

Perayaan Bulan Arwah di Indonesia mempunyai akar dari akulturasi antara Buddhisme dan Taoisme seperti di Tiongkok. Perayaan ini dilaksanakan sebagai ungkapan penghormatan arwah leluhur yang penting dan sebagai suatu pengukuhan identitas kebudayaan masyarakat Tionghoa-Indonesia yang disadari secara penuh. (Klenteng-Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Cl. Salmon dan D. Lombard, Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003. hal 89-90.)

Di Nusantara, catatan awal tentang perayaan ini direkam oleh orang-orang Eropa. Contohnya perayaan di Ambon pada awal abad ke-18 dan di Batavia pada awal abad ke-19. Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama Buddha yakni para biksu. Sesajian makanan untuk ritual tersebut diletakkan di atas panggung.

Bulan Arwah adalah salah satu dari 3 perayaan Tionghoa terpenting dalam satu tahun yang memberikan penghormatan terhadap arwah leluhur di samping sembahyang Imlek dan Ceng Beng. Menjelang malam di hari pertama bulan ke-7, orang Tionghoa membakar batang dupa dan lilin di depan rumah sebagai simbol “membuka pintu”. Sementara itu di kelenteng-kelenteng, biasanya selalu ada sebuah patung besar yang terbuat dari kertas, melambangkan tokoh penting dalam Perayaan Bulan Arwah ini, yakni Taisuya (Da Shi Ye). Ia dianggap sebagai manifestasi dari Dewi Kwan Im. Rupa sang Da Shi Ye digambarkan dengan sangat mengerikan dengan maksud para arwah akan patuh dengannya selama jalannya upacara. Selain itu Da Shi Ye digambarkan sedang mencatat di atas buku, dipercaya sebagai tokoh yang mengatur pembagian makanan kepada roh-roh. Ketika ritual sembahyang selesai, patung tersebut dibakar. Pada hari terakhir, kembali orang-orang membakar batang dua dan lilin di depan rumah sebagai simbol “pintu telah dikunci” alias perayaan telah berakhir

Pada akhir upacara, orang-orang yang menonton dipersilahkan mengambil sesajian, seringkali dengan cara merebut sehingga perayaan ini disebut juga “pesta rebutan” atau “sembahyang rebut”. Di Kalimantan disebut dengan istilah “sembahyang rampas”. Dalam bahasa Hokkien disebut “cioko” sementara itu dalam bahasa Hakka “chiong-si-ku”.

Jakarta: Pada tahun 1930-an di Batavia, Perayaan Bulan Arwah saat itu ditandai dengan panggung setinggi dua meter lebih. Sesajiannya banyak sekali terdiri dari daging-daging, beras dan buah-buahan. Begitu usai sembahyang, sesajian diperebutkan orang-orang sehingga panggung bergoyang dan pernah menimbulkan korban jiwa sehingga sempat dilarang.

Pada bulan ini, ada yang menyelenggarakan permainan jailangkung untuk memanggil arwah dari boneka yang terbuat dari keranjang sayur yang diberi pakaian dan dipasangi keratan bambu di bagian perut dan dada Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak. Menurut keyakinan, arwah yang datang sebelum jam 22.00 adalah arwah anak remaja yang iseng suka mengganggu, seringkali mau pulang jika diantar ke kuburan. Arwah tengah malam adalah orang dewasa atau tua yang menjawab dengan tenang dan serius.

Di Kelenteng Jiu Li Dong (Kiu Lie Tong), Perayaan Bulan Arwah dilangsungkan selama dua malam dengan tradisi Orang Hinghwa. Sebuah menara kertas yang dapat berputar melambangkan neraka, sebuah jembatan untuk para arwah yang menyeberang, perahu-perahu kecil dari kertas menggambarkan perjalanan arwah, kapal besar untuk penyeberangan.

Bangka-Belitung : Masyarakat Tionghoa Kepulauan Bangka-Belitung merayakan bulan arwah dengan cukup meriah dengan hiburan dan bersifat kerakyatan di mana etnis Melayu sama-sama ikut serta merayakannya. —-Kisah, Kultur dan Tradisi Tionghoa Bangka. Rika Theo & Fennie Lie. Kompas, 2014. hal 125-135. Di sini populer disebut dengan “sembahyang rebut” dan “chhit-ngiat-pan” (Perayaan Pertengahan Bulan Ke-7).

Kemeriahan pesta rebutan di Belitung terekam jelas dalam novel populer Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: “tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat mengambil – lebih tepatnya merebut – semua barang yang ada di meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang rebut. Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut, aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit – 25 detik lebih tepatnya…”. [https://www.google.co.id/books/edition/Laskar_Pelangi/S0ZNe2iqM54C?hl=id&gbpv=1&dq=babi+berminyak-minyak+laskar+pelangi&pg=PA260&printsec=frontcover Laskar Pelangi], Andrea Hirata. Bentang, 2008. hal 260.

Di Bangka-Belitung di setiap kelenteng selalu ada patung kertas Da Shi Ye (Thaiseja) yang dijadikan pelindung agar arwah-arwah tidak berbuat jahat terhadap manusia. Thaiseja adalah perwujudan dari Dewi Kwan Im. Ia diposisikan duduk sementara tangan kirinya memegang buku sambil mencatat dan mengawasi ritual sembahyang untuk arwah kelaparan. Sebelum puncak perayaan sembahyang rebut, mata patung Thaiseja ditutup kain atau kertas merah. Upacara pembukaan mata itu disebut “khoikong”.

Masyarakat Bangka meyakini jika perayaan semakin meriah maka arwah kelaparan akan merasa senang dan masyarakat selamat. Pada zaman dahulu perayaan ini harus diadakan dua kali apabila makanan persembahan kurang banyak. Karena akibatnya dipercaya dapat menimbulkan malapetaka bagi masyarakat di suatu desa.